A. PENGERTIAN RESILIENSI
Menurut Rutter (1987) (dalam Clarissa, 2012 ; 34) berpendapat bahwa resiliensi merupakan hasil dari kesuksesan dalam mengahadapi masalah daripada menghindar terhadap masalah. Sehingga individu yang memiliki resiliensi dipastikan akan selalu berani menghadapi dan menyelesaikan masalah yang sedang ada di hadapannya tanpa harus menghindar. Menurut Reivich. K dan Shatte. A yang dijelaskan dalam bukunya “The Resiliency Factor”menjelaskan resiliensi ialah kemampuan untuk beradapatasi dan mengatasi terhadap suatu kejadian dan situasi yang berat atau masalah yang terjadi dalam sebuah kehidupan. Menurut Grotberg (1999) (dalam Dina Oktaviani, 2012 ; 9) resiliensi adalah kemampuan manusia untuk menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat atas kesulitan dan permasalahan yang dihadapinya. Grotberg mengatakan bahwa resiliensi bukanlah hal magic dan bisa dimiliki oleh semua manusia tanpa terkecuali dan bukan pemberian dari sumber yang tidak diketahui.
Dapat diambil kesimpulan bahwa resliensi adalah kemampuan individu dalam menghadapi dan mengatasi masalah dengan tidak mudah putus asa, sehingga dapat bertahan dalam situasi yang membuat tertekan, dan mencoba bangkit untuk menjadi lebih baik.
Fungsi resiliensi menurut Reivich & Shatte (2002) yaitu sebagai berikut:
- Overcoming: kemampuan menyikapi permasalahan dengan cara menganalisa situasi yang ada dan mengubah sudut pandang yang lebih positif dan belajar untuk meningkatkan kemampuan mengontrol kehidupan diri kita sendiri
- Steering through: Esensi dari steering through dalam stres kronis adalah self –efficacy yang berarti keyakinan terhadap diri sendiri bahwa kita dapat menguasai lingkungan kita dengan baik dan memecahkan berbaga permasalahan yang muncul.
- Bouncing back: Terdapat tiga karakteristik orang resiliensi dalam menyembuhkan diri dari traumatik atau yang lain, yaitu individu menunjukkan task oriented coping style dimana individu melakukan segala hal yang dapat mengatasi permasalahan dan derita mereka, individu yakin bahwa ia dapat mengendalikan hidup mereka, dan mampu kembali ke kehidupan normal mereka semula.
- Reaching out: Resiliensi tidak hanya berguna dalam mengatasi permasalahan, stres, atau traumatik yang mereka rasakan. Akan tetapi hal positif lainnya yaitu, orang yang resliensi akan mendapatkan pengalaman hidup yang lebih banyak dan lebih bermakna dalam hidup.
C. ASPEK MEMBANGUN RESILIENSI
Reivich dan Shatte (2002) menjelaskan terdapat tujuh aspek yang membangun resiliensi dalam individu. Aspek – aspek tersebut yaitu:
- Emotion Regulation: Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan.
- Impulse control: kemampuan individu dalam mengendalaikan keinginan, kesukaan, ataupun tekanan yang timbul dari dalam diri individu
- Optimisme: sikap ketika individu melihat masa depannya cemerlang.
- Causal analysis: megarah pada kemampuan individu dalam mengidentifikasi apa saja penyebab atau faktor dari permaslaah yang sedang kita hadapi secara akurat dan benar.
- Empati: sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda – tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain.
- Self – efficacy adalah hasil dari pengentasan masalah yang berhasil.
- Reaching Out: kemampuan individu dalam memetik hal positif dari kehidupan dimana ia telah mengalami keterpurukan dalam hidupnya
D. RESILIENSI AKADEMIK DALAM LAYANAN BIMBINGAN KONSELING
- Layanan Bimbingan Kelompok
Bimbingan kelompok merupakan suatu proses layanan bimbingan yang melibatkan sejumlah orang sebagai kesatuan kelompok yang memungkinkan semua anggota kelompok bisa mengeluarkan pendapat, dapat berbicara di depan umum, dan mampu mengungkapkan prilaku empati pada teman, untuk menghargai teman, dan lebih bias untuk menghargai pendapat orang lain. Menurut Romlah (2001: 03) bimbingan kelompok merupakan prosespelaksanaan pemberian bantuan yang dilaksanakan oleh konselor/guru Bimbingan dan konseling pada beberapa konseli/siswa dalam keadaan kelompok yang bertujuan untuk mencegah timbulnya suatu masalah pada konseli/siswa dan mengembangkan potensi diri yang dimiliki siswa serta pengelolaannya dilakukan dalam situasi kelompok. Layanan bimbingan kelompok dapat diberikan kepada klien agar klien mampu mengambil tindakan preventif atas perkembangan yang terhambat pada dirinya dalam kegiatan akademik.
2. Layanan Konseling kelompok
Layanan konseling kelompok merupakan suatu proses di mana konselor terlibat dalam hubungan dengan sejumlah klien pada waktu yang sama. Ohlesun (dalam wibowo, 2005; 18) menyatakan bahwa “layanan konseling kelompok merupakan pengalaman terpenting bagi orang-orang yang tidak memiliki masalah emosional yang serius. Gadza, dkk (dalam Wibowo, 2005:18) menyatakan bahwa layanan konseling kelompok adalah suatu proses antara pribadi yang terpusat pada pribadi yang dinamis, terpusat pada pemikiran dan perilaku yang sadar dan melibatkan fungsi-fungsi seperti berorientasi pada kenyataan, saling mempercayai, saling pengertian, saling menerima, dan saling mendukung. Melalui proses konseling kelompok siswa dapat memadukan segenap kekuatan dan kemampuan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi Thompson dan Rudolph (dalam prayitno, 1999:112) “menjelaskan bahwa tujuan konseling kelompok dapat terentang dari sekedar klien mengikuti kemauan-kemauan konselor sampai pada masalah pengambilan keputusan, pengembangan kesadaran, pengembangan pribadi, penyembuhan dan penerimaan diri sendiri”. Diharapkan dengan adanya pelaksanaan layanan konseling kelompok maupun bimbingan kelompok sebagai tindak awal agar klien mampu melakukan pencegahan (preventif) atas masalah dan juga dapat mampu mengebangkan kemampuan klien (Sabila, dkk, 2021). Layanan konseling kelompok dapat diberikan kepada klien yang tidak mampu meningkatkan resiliensi akademiknya di satuan Pendidikan. sehingga perlu adanya bantun profesional oleh Guru BK/Konselor untuk membatunya memberikan alternative pemecahan masalah yang tepat bagi diri klien sehingga klien mampu meningkatkan resiliensi akademiknya.